Beberapa waktu lalu sebelum kejadian gempa saya dengan beberapa teman sempat berkunjung ke ranah minang. Kebetulan untuk trip kali ini teman2 seperjalan berusia lebih senior dari saya. Tapi disiplin mereka lumayan juga. Kita janjian jam enam pagi, eh mereka dah ada di ruang tunggu jam setengah enam, padahal saya mah baru sampai di bandara jam segitu dan sehabis cek in masih jalan jalan diluar karena ga nyangka mereka dah datang.
Pagi itu Lion air hanya delay beberapa menit setelah jadwal yang ditetapkan. Saya dan empat orang teman menaiki pesawat dengan kode R -900 ( kalau ga salah ) yang katanya baru datang dari pabriknya. Tapi menurut saya pribadi kabinnya ga beda sama pesawat yang dulu, cuman emang ruang bagasi diatasnya lebih besar daripada yang sebelumnya. Perjalanan membutuhkan waktu 1 jam 15 menit. Ketika pramugari memberitahukan bahwa kami sudah berada dia atas kota padang saya yang duduk dekat jendela di suguhi pemandangan indah tepi pantai sumatera, pasir putih dengan pohon kelapanya berjumpa dengan ombak yang menjilat-jilat.
Setelah mengambil bagasi kami tidak langsung keluar dari gedung tapi celingak celinguk nyariin host kami yang janji akan menjemput disana dan untunglah tak beberapa lama kemudian si Uda itupun datang. Sebuah Innova sudah menunggu di pelataran parkir bandara untuk membawa kami ke sebuah rumah makan di pusat kota padang. Tapi selama di padang kami perhatikan gak satupun ada rumah makan padang, yang ada rumah makan sederhana, rumah makan simpang raya , rumah makan lamun ombak dan semacamnya hehe....ya iyalah semuanya kan bermenu masakan padang, wong udah di padang.
Makan menjelang siang itu terasa sangat nikmat sekali, alasannya pertama karena emang belum makan dari pagi, kedua, teman-teman saya itu baru pertama kalinya ini mendapatkan padang " original menu " , walaupun di jakarta ada rumah makan padang tapi kalau makan langsung di daerah asalnya tetap terasa beda. Ga percaya? coba deh..pasti beda..hehe..
Setelah perut kenyang barulah kami berunding menentukan tujuan trip kita kali ini, aneh ya dah nyampe di tempatnya baru nentuin mau pergi kemananya. Tapi berhubung memang kita go show aja dari Jakarta dan teman-teman emang ngandelin saya sebagai guidenya maka jadilah rundingannya terjadi di rumah makan itu. Setelah melalui perundingan yang alot dan panjang..eh ngga ding, akhirnya kita memutuskan mengunjungi Batu Malin Kundang, karena ini yang sudah akrab didengar bapak-bapak itu tapi belum pernah melihatnya langsung. Akhirnya Innova kami melaju menuju pantai Air Manih, pak sopir membawa kami melalui jalan berliku-liku yang menaiki bukit dan kemudian turun lagi menuju pantai, katanya ada dua jalur menuju pantai dan yang menaiki bukit ini yang lebih cepat dan kita juga bisa menyaksikan kota Padang dari ketinggian bukitnya.
Setiba disana kami langsung menuju tujuan utama yaitu batu malin kundang, sedangkan pantainya sendiri terlihat tidak begitu diminati oleh teman-teman .
Terlihat di tepi pantai beberapa bongkah batu yang menyerupai perahu dan ditengah tengahnya ada batu-batu yang berbentuk tong-tong, tali, kayu dan sebongkah batu menyerupai orang yang sedang telungkup.
Melihat ukuran batu yang melingkat tsb sepertinya perahu si malin kundang menurut saya ga terlampau besar, lebih menyerupai perahu penangkap ikan kayu atau kapal kayu pembawa kayu yang ada di pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Tapi mungkin di jaman dulu perahu seukuran itu sudah termasuk lumayan dan biasa mengarungi lautan sampai ke Malaka sana.
Sambil melihat-lihat batu-batu itu saya sempat membayangkan kondisi psikologis si Malin Kundang yang durhaka dan si Ibu yang mengutuknya.
Disatu pihak si Malin Kundang yang datang bersama istrinya yang berasal dari sebuah kota metropolitan maha modern tanpa diharapkan bertemu dengan si Ibu yang berasal ( sama dengan si Malin juga) dari dusun terpencil nyaris seperti hutan. Disini ada perbenturan dua budaya dimana budaya kota metropolitan dianggap lebih tinggi dari budaya yang di perlihatkan oleh ibunya Malin. Alias budaya modern dengan budaya Udik. Alangkah merasa malunya Malin ( mungkin semula Malin ngebokis sama istrinya kalo dia itu berasal dari tempat yang modern juga ) ketika istri dan awak perahu mengetahui bahwa dirinya berasal dari budaya yang udik itu dan terjadilah "Pengingkaran" itu yaitu Malin tidak mengakui wanita yang dengan sukacita menemuinya adalah ibu kandungnya. Secara history kondisi budaya dan kemospolitan tanah Minang sendiri pada jaman dahulu tidaklah terlampau ketinggalan di bandingkan tanah Malaka karena di Minang sendiri ada kerajaan Minangkabau yang cukup berpengaruh di pergaulan internasional kala itu. Cuman memang si Malin sendiri berasal dari suatu daerah di Minangkabau yang agak tertinggal dan terpencil dari daerah lainnya ( kayaknya sampai sekarang masih deh.... ). Dan yang bikin malu si Malin selain dari tampilan ibunya yang -ndeso- banget juga karena suguhan makanan yang dibawa sang ibu. Makanan yang dibawa itu menurut ukuran ke moderan jaman itu dan juga sekarang adalah tidak layak dimakan oleh manusia.
Di pihak lain sang Ibu pun tidaklah salah karena makanan yang beliau bawa adalah makanan kesukaan si Malin waktu masih bersamanya. Saya membayangkan bagaimana sukacitanya sehingga berurai air mata sang ibu ketika dia diberitahu bahwa anak si jantung hati yang disangka sudah meninggal ternyata masih hidup dan sudah jadi "orang". Dan untuk menyambut kedatangan sang anak itu ia ingin menghidangkan makanan terbaik yang ia punya. Sang ibu segera teringat akan makanan kesukaan sang anak yang dicintai. Dengan pontang panting beliau meracik makanan itu dan segera menempuh laut luas untuk mengunjung kapal si Malin. Dan....... sayapun tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati sang ibu ketika di ditolak oleh sang anak, sakit luar biasa, pilu luar biasa, ngilu sampai ke relung hati yang terdalam...Mmh..sampai pada tingkatan ini memang ga salah kalau Allah sang Pencipta mengabulkan langsung permintaan sang Ibu.
Di Pantai Aia Manih terlihat sepi pada hari itu karena memang saat itu adalah hari kerja, disamping batu malin kundang terdapat beberapa tenda yang menjual kaos dan aksesoris untuk oleh-oleh, sedangkan di sepanjang garis pantai terlihat bungalow yang berjejer rapi.
Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke Siteba untuk mengunjungi saudara salah seorang teman. Tak lama disana kami melanjutkan perjalanan menuju Pariaman. Pariaman terkenal dengan Sate Pariaman dan Sala Lauak nya. Disana juga ada beberapa pantai yang indah, salah satunya adalah pantai Gandoriah yang berada pas di belakang pasar Pariaman. Sekali setahun disana juga diselenggarakan Festival Tabuik yaitu suatu prosesi yang diakhiri dengan melempar tabuik ke laut dalam rangka mengenang kematian cucu nabi Hasan dan Husein.
Selepas Pariaman hari sudah mulai malam, setelah mampir untuk makan sate pariaman yang lezat itu kami meneruskan perjalanan ke danau Maninjau. Untuk sampai kesana kami melewati Sungai Limau , Tiku, Manggopoh, dan Lubuk Basuang. Kami menginap disalah satu hotel di pinggiran danau Maninjau.
Besoknya setelah menikmati keindahan Maninjau kami berangkat menuju Bukittinggi dengan melalui kelok 44 yang terkenal itu, di sepanjang jalan yang berkelok-kelok tajam itu selain di suguhi keindahan danau Maninjau dari ketinggian juga ditemani oleh sekelompok monyet-monyet yang setia nangkring di pinggir jalan memperhatikan kendaraan yang lewat dan mengharapkan ada yang melemparkan makanan atau kacang ke pada mereka. Kelok 44 emang seru sehingga salah satu dari bapak-bapak itu terlihat pucat karena mual hehe...
Salah satu objek wisata setelah kelok 44 adalah Ambun Pagi, disana tersedia parkiran dan juga sebuah resort, namun kami tidak sempat mampir kesana karena sudah keburu siang.
Dua setengah jam perjalanan kamipun tiba di Bukittinggi. Dan tempat pertama yang kami sambangi tentu saja sang Ikon Bukittinggi yaitu Jam Gadang, semua nya tidak lupa mengabadikan diri di kaki sang jam Gadang sebagai bukti bahwa kami sudah pernah menjejaki kaki ke bumi Minangkabau dan Bukittinggi khususnya.
Didepan jam gadang adalah pasa ateh dan di sisinya terdapat pasar yang menjual segala pernak pernik tanda mata bagi wisatawan, dari yang seharga dua ribu sampai yang seharga dua ratus ribu, kalau ingin oleh-oleh yang lebih ekslusif lagi ada di toko-toko di depan sebuah hotel berbintang lima di belakang jam gadang yaitu baju sulaman khas bukittinggi yang bisa mencapai harga tiga jutaan, tapi yang seharga ratusan ribu juga ada siy..
Tapi ternyata bukan ibu-ibu saja yang hobi shopping ya, teman-teman saya yang semuanya lelaki itu setelah get picture langsung terjun ke keramaian pasar cinderamata itu. Kami sempat terpisah beberapa saat tapi perut jugalah yang mempertemukan. Kami berjumpa lagi disebuah kedai di depan mesjid Raya Bukittinggi yang menyediakan sate Padang plus es tebak, syedaaaap.
Selesai makan dan sholat teman-teman sudah minta diantar lagi ke pusat penjualan " Karupuak Sanjai ". Tapi saya mengusulkan untuk terlebih dahulu mengunjungi spot wisata terkenal yaitu Lobang Jepang di Panorama dan Ngarai Sianok.
Lobang Jepang seperti namanya adalah gua buatan yang dibikin pada masa penjajahan Jepang dengan bantuan tenaga kerja paksa dari rakyat Indonesia yang akan dipergunakan oleh tentara Jepang sebagai markas mereka kalau nanti ada serangan dari Sekutu. Pada jaman dahulu gua itu berdiameter sangat sempit terutama pintu masuknya tapi sekarang lorong-lorongnya sudah diperbesar dan dindingnya juga telah di semen untuk keperluan wisata. Didalamnya terdapat ruangan-ruangan untuk berbagai keperluan tentara Jepang, seperti ruang komando, tahanan, ruang makan, gudang, kamar tidur, gudang amunisi, dan lubang pembuangan baik sampah maupun manusia. Panjang lubang tsb sampai sekarang belum diketahui pasti, diperkirakan lubang tersebut malang melintang di seluruh bawah tanah kota Bukittinggi dan mempunyai pintu keluar yang banyak. Untuk wisatawan hanya beberapa lorong saja yang dibuka demi keamanan.
Sehabis dari sana dan kemudian melihat ngarai Sianok kamipun berangkat ke pusat penjualan karupuak sanjai oleh-oleh khas tanah Minang di Jl Kapas Panji. Disana ada karupuak sanjai balado, karak kaliang, karupuak kuniang, karupuak kacang, dll. Kita tinggal pilih dan penjaga toko akan langsung membungkus dengan kardus yang sudah ada merk tokonya. Jam empat sore kami kembali ke Danau Maninjau untuk kembali ke hotel. Tidak lupa kami membeli kacang sebagai oleh-oleh buat kera-kera di kelok 44.
Esok paginya kami chek out dari hotel dan langsung menuju ke bandara Internasional Minangkabau karena kami dijadwalkan akan terbang dengan penerbangan jam 10 pagi. Setelah mengambil bagasi kami tidak langsung keluar dari gedung tapi celingak celinguk nyariin host kami yang janji akan menjemput disana dan untunglah tak beberapa lama kemudian si Uda itupun datang. Sebuah Innova sudah menunggu di pelataran parkir bandara untuk membawa kami ke sebuah rumah makan di pusat kota padang. Tapi selama di padang kami perhatikan gak satupun ada rumah makan padang, yang ada rumah makan sederhana, rumah makan simpang raya , rumah makan lamun ombak dan semacamnya hehe....ya iyalah semuanya kan bermenu masakan padang, wong udah di padang.
Makan menjelang siang itu terasa sangat nikmat sekali, alasannya pertama karena emang belum makan dari pagi, kedua, teman-teman saya itu baru pertama kalinya ini mendapatkan padang " original menu " , walaupun di jakarta ada rumah makan padang tapi kalau makan langsung di daerah asalnya tetap terasa beda. Ga percaya? coba deh..pasti beda..hehe..
Setelah perut kenyang barulah kami berunding menentukan tujuan trip kita kali ini, aneh ya dah nyampe di tempatnya baru nentuin mau pergi kemananya. Tapi berhubung memang kita go show aja dari Jakarta dan teman-teman emang ngandelin saya sebagai guidenya maka jadilah rundingannya terjadi di rumah makan itu. Setelah melalui perundingan yang alot dan panjang..eh ngga ding, akhirnya kita memutuskan mengunjungi Batu Malin Kundang, karena ini yang sudah akrab didengar bapak-bapak itu tapi belum pernah melihatnya langsung. Akhirnya Innova kami melaju menuju pantai Air Manih, pak sopir membawa kami melalui jalan berliku-liku yang menaiki bukit dan kemudian turun lagi menuju pantai, katanya ada dua jalur menuju pantai dan yang menaiki bukit ini yang lebih cepat dan kita juga bisa menyaksikan kota Padang dari ketinggian bukitnya.
Setiba disana kami langsung menuju tujuan utama yaitu batu malin kundang, sedangkan pantainya sendiri terlihat tidak begitu diminati oleh teman-teman .
Terlihat di tepi pantai beberapa bongkah batu yang menyerupai perahu dan ditengah tengahnya ada batu-batu yang berbentuk tong-tong, tali, kayu dan sebongkah batu menyerupai orang yang sedang telungkup.
Melihat ukuran batu yang melingkat tsb sepertinya perahu si malin kundang menurut saya ga terlampau besar, lebih menyerupai perahu penangkap ikan kayu atau kapal kayu pembawa kayu yang ada di pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Tapi mungkin di jaman dulu perahu seukuran itu sudah termasuk lumayan dan biasa mengarungi lautan sampai ke Malaka sana.
Sambil melihat-lihat batu-batu itu saya sempat membayangkan kondisi psikologis si Malin Kundang yang durhaka dan si Ibu yang mengutuknya.
Disatu pihak si Malin Kundang yang datang bersama istrinya yang berasal dari sebuah kota metropolitan maha modern tanpa diharapkan bertemu dengan si Ibu yang berasal ( sama dengan si Malin juga) dari dusun terpencil nyaris seperti hutan. Disini ada perbenturan dua budaya dimana budaya kota metropolitan dianggap lebih tinggi dari budaya yang di perlihatkan oleh ibunya Malin. Alias budaya modern dengan budaya Udik. Alangkah merasa malunya Malin ( mungkin semula Malin ngebokis sama istrinya kalo dia itu berasal dari tempat yang modern juga ) ketika istri dan awak perahu mengetahui bahwa dirinya berasal dari budaya yang udik itu dan terjadilah "Pengingkaran" itu yaitu Malin tidak mengakui wanita yang dengan sukacita menemuinya adalah ibu kandungnya. Secara history kondisi budaya dan kemospolitan tanah Minang sendiri pada jaman dahulu tidaklah terlampau ketinggalan di bandingkan tanah Malaka karena di Minang sendiri ada kerajaan Minangkabau yang cukup berpengaruh di pergaulan internasional kala itu. Cuman memang si Malin sendiri berasal dari suatu daerah di Minangkabau yang agak tertinggal dan terpencil dari daerah lainnya ( kayaknya sampai sekarang masih deh.... ). Dan yang bikin malu si Malin selain dari tampilan ibunya yang -ndeso- banget juga karena suguhan makanan yang dibawa sang ibu. Makanan yang dibawa itu menurut ukuran ke moderan jaman itu dan juga sekarang adalah tidak layak dimakan oleh manusia.
Di pihak lain sang Ibu pun tidaklah salah karena makanan yang beliau bawa adalah makanan kesukaan si Malin waktu masih bersamanya. Saya membayangkan bagaimana sukacitanya sehingga berurai air mata sang ibu ketika dia diberitahu bahwa anak si jantung hati yang disangka sudah meninggal ternyata masih hidup dan sudah jadi "orang". Dan untuk menyambut kedatangan sang anak itu ia ingin menghidangkan makanan terbaik yang ia punya. Sang ibu segera teringat akan makanan kesukaan sang anak yang dicintai. Dengan pontang panting beliau meracik makanan itu dan segera menempuh laut luas untuk mengunjung kapal si Malin. Dan....... sayapun tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati sang ibu ketika di ditolak oleh sang anak, sakit luar biasa, pilu luar biasa, ngilu sampai ke relung hati yang terdalam...Mmh..sampai pada tingkatan ini memang ga salah kalau Allah sang Pencipta mengabulkan langsung permintaan sang Ibu.
Di Pantai Aia Manih terlihat sepi pada hari itu karena memang saat itu adalah hari kerja, disamping batu malin kundang terdapat beberapa tenda yang menjual kaos dan aksesoris untuk oleh-oleh, sedangkan di sepanjang garis pantai terlihat bungalow yang berjejer rapi.
Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke Siteba untuk mengunjungi saudara salah seorang teman. Tak lama disana kami melanjutkan perjalanan menuju Pariaman. Pariaman terkenal dengan Sate Pariaman dan Sala Lauak nya. Disana juga ada beberapa pantai yang indah, salah satunya adalah pantai Gandoriah yang berada pas di belakang pasar Pariaman. Sekali setahun disana juga diselenggarakan Festival Tabuik yaitu suatu prosesi yang diakhiri dengan melempar tabuik ke laut dalam rangka mengenang kematian cucu nabi Hasan dan Husein.
Selepas Pariaman hari sudah mulai malam, setelah mampir untuk makan sate pariaman yang lezat itu kami meneruskan perjalanan ke danau Maninjau. Untuk sampai kesana kami melewati Sungai Limau , Tiku, Manggopoh, dan Lubuk Basuang. Kami menginap disalah satu hotel di pinggiran danau Maninjau.
Besoknya setelah menikmati keindahan Maninjau kami berangkat menuju Bukittinggi dengan melalui kelok 44 yang terkenal itu, di sepanjang jalan yang berkelok-kelok tajam itu selain di suguhi keindahan danau Maninjau dari ketinggian juga ditemani oleh sekelompok monyet-monyet yang setia nangkring di pinggir jalan memperhatikan kendaraan yang lewat dan mengharapkan ada yang melemparkan makanan atau kacang ke pada mereka. Kelok 44 emang seru sehingga salah satu dari bapak-bapak itu terlihat pucat karena mual hehe...
Salah satu objek wisata setelah kelok 44 adalah Ambun Pagi, disana tersedia parkiran dan juga sebuah resort, namun kami tidak sempat mampir kesana karena sudah keburu siang.
Dua setengah jam perjalanan kamipun tiba di Bukittinggi. Dan tempat pertama yang kami sambangi tentu saja sang Ikon Bukittinggi yaitu Jam Gadang, semua nya tidak lupa mengabadikan diri di kaki sang jam Gadang sebagai bukti bahwa kami sudah pernah menjejaki kaki ke bumi Minangkabau dan Bukittinggi khususnya.
Didepan jam gadang adalah pasa ateh dan di sisinya terdapat pasar yang menjual segala pernak pernik tanda mata bagi wisatawan, dari yang seharga dua ribu sampai yang seharga dua ratus ribu, kalau ingin oleh-oleh yang lebih ekslusif lagi ada di toko-toko di depan sebuah hotel berbintang lima di belakang jam gadang yaitu baju sulaman khas bukittinggi yang bisa mencapai harga tiga jutaan, tapi yang seharga ratusan ribu juga ada siy..
Tapi ternyata bukan ibu-ibu saja yang hobi shopping ya, teman-teman saya yang semuanya lelaki itu setelah get picture langsung terjun ke keramaian pasar cinderamata itu. Kami sempat terpisah beberapa saat tapi perut jugalah yang mempertemukan. Kami berjumpa lagi disebuah kedai di depan mesjid Raya Bukittinggi yang menyediakan sate Padang plus es tebak, syedaaaap.
Selesai makan dan sholat teman-teman sudah minta diantar lagi ke pusat penjualan " Karupuak Sanjai ". Tapi saya mengusulkan untuk terlebih dahulu mengunjungi spot wisata terkenal yaitu Lobang Jepang di Panorama dan Ngarai Sianok.
Lobang Jepang seperti namanya adalah gua buatan yang dibikin pada masa penjajahan Jepang dengan bantuan tenaga kerja paksa dari rakyat Indonesia yang akan dipergunakan oleh tentara Jepang sebagai markas mereka kalau nanti ada serangan dari Sekutu. Pada jaman dahulu gua itu berdiameter sangat sempit terutama pintu masuknya tapi sekarang lorong-lorongnya sudah diperbesar dan dindingnya juga telah di semen untuk keperluan wisata. Didalamnya terdapat ruangan-ruangan untuk berbagai keperluan tentara Jepang, seperti ruang komando, tahanan, ruang makan, gudang, kamar tidur, gudang amunisi, dan lubang pembuangan baik sampah maupun manusia. Panjang lubang tsb sampai sekarang belum diketahui pasti, diperkirakan lubang tersebut malang melintang di seluruh bawah tanah kota Bukittinggi dan mempunyai pintu keluar yang banyak. Untuk wisatawan hanya beberapa lorong saja yang dibuka demi keamanan.
Sehabis dari sana dan kemudian melihat ngarai Sianok kamipun berangkat ke pusat penjualan karupuak sanjai oleh-oleh khas tanah Minang di Jl Kapas Panji. Disana ada karupuak sanjai balado, karak kaliang, karupuak kuniang, karupuak kacang, dll. Kita tinggal pilih dan penjaga toko akan langsung membungkus dengan kardus yang sudah ada merk tokonya. Jam empat sore kami kembali ke Danau Maninjau untuk kembali ke hotel. Tidak lupa kami membeli kacang sebagai oleh-oleh buat kera-kera di kelok 44.
Sewaktu cek in di bandara terlihat banyak calon penumpang membawa kardus-kardus besar untuk dimasukan ke bagasi. Tapi setelah ditimbang tak ada yang beratnya lebih dari 10 kg, wong isinya cuman kerupuk hehehe............
Jam 11.30 kami semua kembali sampai di bandara Soeta dengan selamat dan berakhirlah perjalanan kali ini. See u guys..................
Jam 11.30 kami semua kembali sampai di bandara Soeta dengan selamat dan berakhirlah perjalanan kali ini. See u guys..................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar