Senin, 16 Maret 2009

Dieng




Ini Dieng itu Dieng...dingiiiiin.......

Cerita Perjalanan : Trip To Dieng 2009

Kami memulai perjalanan dari Bogor jam 06.00 pagi, kemudian menuju jakarta untuk menjemput yang lainnya. Jam 08.00 kami sudah memasuki tol Cikampek, dan ternyata oh ternyata semua warga Jakarta sepertinya punya pemikiran yang sama untuk segera ngacir dari Jakarta yang sumpek ke luar kota di pagi itu sehingga kami lumayan tertahan lama di tol karena macet-cetcet yang parah.

Trip kali ini kami menyusuri Pantura yaitu keluar tol belok kiri arah cikampek - subang - indramayu - cirebon ( tol nya aja )- brebes - tegal - pemalang - pekalongan.

Selama perjalanan beberapa kali berhenti di pom bensin buat ngisi bensin ama ngebuang-buang aer dan ngebuang yang laennya hehe.....trus juga di beberapa mesjid buat sholat. Rencananya sebelum masuk tol cirebon kita mo nyarap dulu, tapi karena nanggung akhirnya setelah keluar tol kita nyari2 warung untuk makan. Di pinggir 2 jalan itu kan banyak tuh bilbor apa spanduk warung2 yang nawarin segala macam makanan, dari tongseng, sate, nasi goreng, ikan bakar de el el. Nah kita cobain di salah satu warung. Makanannya sih biasa aja, yang bikin ga biasa..harganya  !!! gila bener2 ngegetok banget, sate kambing yang alot tapi tipis2 aja dihargai 23 rebu. nasi goreng yang ga tau rasanya 17 rb. Bueh... jadi pelajaran banget nih.. ( untung ga pesan minuman..kalo pesen berapaan ya? hehe..)

Akhirnya dengan senyum kecut kita tinggalkan warung itu dan melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan para crew di belakang nyanyi2 gak ada abisnya, pada kuat tuh batrenya.......

Menjelang magrib kita sampai di Pekalongan, cari penginapan dan langsung ke alun2 nyari gepuk yang terkenal itu. Abis dari sana ada yang langsung bobo ada yang masih ngobrol ampe malam.

Besoknya kita keliling Pekalongan nyobain kulinernya ( taoto ) dan liat2 batik, tadinya mo nawarin ke museum batik, tapi kayaknya dah puas dan pengen segera melihat Dieng, jadi abis zhuhur kita langsung cabut ke Dieng. Kita ngambil jalur Pekalongan - Kanjen - batur - Dieng karena dapat informasi kalau jalur weleri - Wonosobo - Dieng ada yang longsor. Untuk jalur Kanjen  Batur ini kita akan menemui tanjakan-tanjakan yang lumayan tinggi sehingga mobil juga harus berjalan perlahan-lahan. Memasuki hutan diiringi udara yang mulai dingin dan rintikan hujan. Sempat keder juga tapi ternyata mobil sanggup melalui tanjakan-tanjakan itu dan setelah melalui hutan kita akan bertemu dengan beberapa desa yang indah. Untuk yang melintasi jalur ini susah payahnya akan dibayar setimpal dengan keindahan panorama di kiri kanan kita, pokoknya membuat kita terpana.

Menjelang magrib kami sampai di Dieng, udara dingin nya sudah menyelusup ke tulang belulang kami, semua perlengkapan musim dingin dah terpasang lengkap di badan. Diantara gelapnya malam dan dinginya udara akhirnya kami sampai di penginapan yang di tuju, yaitu penginapan Bu Jono, penginapan yang terkenal dikalangan backpacker.

Disana langsung pesan kamar, dapat 1 kamar isi 2 tempat tidur dengan 4 selimut tebal !!

Dan malam itu dengan mulut yang mengeluarkan asap kalo pas bicara kami mencobain bakso ala Dieng.........anget anget.....

DIENG

Pagi hari anak-anak yang mau melihat golden sunrise dari puncak dieng dah harus bangun dari jam 04.00, soalnya kita nantinya harus treking sekitar setengah jam-an menuju puncak untuk mendapatkan pemandangan tersebut. Saya sendiri masih terlelap meringkuk kedinginan di kamar dan gak ikutan kesana hehe.........

Siangnya kita menjelajahi spot-spot menarik lainnya di sekitaran Dieng, ada kumpulan candi Arjuna yang merupakan candi Hindu dan dibangun sekitar abad 7 M gitu deh...

Ada juga candi gatot kaca dll.

Kemudian mengunjungi Kawah Sikidang ( dinamakan sikidang karena suka melompat-lompat kayak kijang/kidang ), disana nyobain kentang gorengnya yang disediakan diwarung2 sekitar itu. Kemudian ke beberapa danau dan kawah lainnya. Dari satu tempat ke tempat lainnya lumayan jauh juga lo ( maksudnya harus pake kendaraan secara Dieng itu luas sekali ). Eh ada juga tuh yang nyobain purwaceng yang dijual disana hehe....

 

Senin, 02 Maret 2009

Wisata Tabuik, Padang

Pesta Tabuik, Ritual Muharram di Pariaman

Pariaman.., tadanga langang, batabuik mangkonyo rami...

Penggalan lirik lagu gamad Minang di atas, memang terbukti sekali kenyataannya. Lirik itu memberi gambaran, betapa Pesta Tabuik yang menjadi ritual budaya di Kota Pariaman, sangat ditunggu urang piaman, baik yang ada di kampung halaman --Kabupaten Padangpariaman dan Kota Pariaman-- ataupun yang berada di perantauan. Tak hanya mereka, orang lain, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara, menjadikan ritual ini sebagai iven yang wajib tonton. Mengingat keunikannya yang jelas berbeda dengan ritual yang sama di Bengkulu.

Pada Minggu, 11 Januari 2009 lalu Pesta Tabuik ini telah dihelat yang disaksikan ribuan orang. diantaranya para Pejabat Pusat dan Daerah serta Duta Besar Iran.  Ritual ini menggambarkan kisah Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW yang meninggal dipancung musuh-musuhnya di Padang Karbala, Irak. Adalah tradisi kaum Syiah di Irak meratapi peristiwa itu, yang kemudian tradisi tersebut meluas ke berbagai negara muslim. Di Indonesia, selain di Pariaman, ritual mengenang peristiwa meninggalnya cucu Rasulullah juga diadakan di Bengkulu. Namun, pelaksaan tradisi itu juga menjadi berbeda-beda di setiap tempat.

Di Pariaman, Festival Tabuik ini telah dimulai pada tahun 1824. Ketika itu, pelaksanaan pertamanya diprakarsai para pedagang Islam beraliran syiah yang datang dari berbagai daerah dan negara, seperti Aceh, Bengkulu, Arab dan India. Karena tidak ada penolakan terhadap tradisi tersebut oleh masyarakat Pariaman, kemudian perayaan Tabuik itu dilaksanakan setiap tahun.

Pesta Tabuik ini, dulu dikenal sebagai ritual tolak bala, yang diselenggarakan setiap tanggal 1-10 Muharram (kecuali tahun 2004, Pesta Tabuik tidak digelar karena jadwalnya berdekatan dengan pelaksanaan pemilihan umum). Lokasi utama Pesta Tabuik biasanya berada di obyek wisata Pantai Gondoriah, sekitar 65 kilometer arah utara Kota Padang. Tabuik dilukiskan sebagai  'Bouraq', binatang berbentuk kuda bersayap, berbadan tegap, berkepala manusia (wanita cantik), yang dipercaya telah membawa arwah (souls of the) Hasan dan Husein ke surga. Dengan dua peti jenazah yang berumbul-umbul seperti payung mahkota, tabuik tersebut memiliki tinggi antara 10-15 meter.

Puncak Pesta Tabuik adalah bertemunya Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kedua tabuik itu dihoyak dengan ditingkahi alat musik tambur dan gendang tasa. Petang hari kedua tabuik ini digotong menuju Pantai Gondoriah, dan menjelang matahari terbenam, kedua tabuik dibuang ke laut. Dikisahkan, setelah tabuik dibuang ke laut, saat itulah kendaraan bouraq membawa segala arak-arakan terbang ke langit (surga).

Sebagaimana pesta rakyat, maka Pesta Tabuik berlangsung sangat meriah. Biasanya juga diramaikan dengan sejumlah pentas kesenian oleh anak nagari, seperti tari-tarian hingga debus ala Minang. Pengunjung pun selain dapat menyaksikan hoyak tabuik dan pembuangan tabuik ke laut, juga dapat membeli oleh-oleh mulai dari souvenir hingga makanan khas seperti sala lauak (penganan dari goreng tepung yang berbentuk bola-bola) dan ikan maco Pariaman yang terkenal gurih.Atau kalau lapar, bisa makan nasi Sek (seribu kenyang) di pondok-pondok makan yang ada di sepanjang Pantai Pariaman.

Sebagai potensi obyek wisata, Pesta Tabuik juga membawa dampak ekonomis yang akan dirasakan oleh masyarakat Kota Pariaman. Konon, penyelenggaraan Pesta Tabuik rata-rata menelan dana sekitar 250 juta rupiah. Namun transaksi jual beli yang didapat dari kehadiran turis-turis pada pesta ini bisa bernilai Rp 5 miliar. Itu sebabnya, bagi masyarakat Pariaman, Tabuik ”wajib” menjadi kalender wisata tahunan.

* Diolah dari berbagai sumber