Dikutip dari majalah Jalan jalan Edisi Januari 2010
untuk pencerahan aja..................
Text dan Photo by Fadil Aziz
Apa yang kita ketahui tentang Ujung Genteng? Sebuah nama yang asing di telinga memang. Kebanyakan orang mungkin lebih familiar dengan Ujung Kulon, area konservasi badak langka. Secara geografis, keduanya memang sama-sama terletak di ujung pulau, di sisi barat Pulau Jawa.
Ujung Genteng berada di tepi selatan Sukabumi. Tempat ini menjanjikan pengalaman seru bagi siapa saja yang menyambanginya, dan membuat siapa pun ingin selalu datang kembali. Di sini tersimpan pantai-pantai indah berpasir putih yang sejenak mengingatkan kita pada Lombok, serta sejumlah air terjun indah yang sekilas mirip Niagara Falls di Amerika. Uniknya lagi, meski terletak di pesisir, Ujung Genteng memiliki area persawahan yang tak kalah menawan dari Ubud.
Pertama kali saya mendengar nama Ujung Genteng adalah sekitar awal 1990-an. Tempat ini terkenal akan pelestarian penyunya. Saya bisa melihat langsung tukik-tukik mungil dilepas ke laut. Sejak kunjungan itu, saya selalu kembali tiap tahunnya. Tapi ada satu teka-teki yang tidak bisa saya jawab hingga kini, yakni tentang arti nama “Ujung Genteng”. Saya tak pernah melihat satu pun perajin genting. Sejumlah warga yang saya tanya juga tak mampu memberi jawaban.
Dari jembatan Bagbagan berwarna kuning yang terletak sebelum Pelabuhan Ratu, saya belok kiri, melintasi Sungai Cimandiri, lalu naik ke pegunungan di belakang teluk. Dari sini, sesekali teluk cantik terlihat jelas. Kira-kira setengah jam kemudian saya benar-benar sudah meninggalkan Pelabuhan Ratu. Pemandangan kini berganti menjadi alam pegunungan.
Mobil melambat saat menyusuri jalan yang meliuk-liuk. Tak berapa lama, saya sampai di jalan lengang yang membelah perkebunan teh dan menghubungkan Bagbagan ke Kiara Dua. Perbukitan hijau membingkai kedua sisi jalan. Saya biasanya melewati kawasan ini di jam makan siang agar bisa beristirahat sambil makan di tepi perkebunan teh.
Sekitar 31 kilometer dari Bagbagan, saya sampai di persim-pangan Kiara Dua. Belokan ke kiri akan membawa kita kembali ke Sukabumi. Sementara di sisi kanan terpampang penunjuk jalan bertuliskan Jampangkulon dan Surade, dua kecamatan sebelum Ujung Genteng. Jarak Pelabuhan Ratu – Ujung Genteng sebenarnya tidak terlalu jauh, kurang-lebih 87 kilometer. Namun karena jalannya berkelok-kelok, waktu tempuh jadi lumayan lama, sekitar tiga jam.
Saya melewati desa kecil bernama Surade, tempat terakhir untuk membeli berbagai kebutuhan. Selepas dari sini, kita akan melewati daerah sepi yang tak memiliki pertokoan. Jalan di Surade relatif lurus sehingga kendaraan bisa dipacu lebih cepat. Pengunjung juga tidak perlu khawatir akan tersesat karena jalan tidak bercabang.
Hamparan biru Samudra India menyambut saya di ujung jalan. Angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut menerpa wajah sesaat setelah turun dari mobil. Saya telah sampai di Ujung Genteng. Tak ada gapura besar seperti di Pelabuhan Ratu atau Pangandaran (dan memang gapura semacam ini hanya pemborosan yang merusak estetika). Yang terlihat hanyalah seorang petugas yang memungut karcis retribusi daerah, dan ia pun hanya bekerja di akhir pekan.
Kedamaian Ujung Genteng menyelimuti batin. Tak terdengar suara bising knalpot ataupun klakson kendaraan. Jalan ke arah timur terlihat lengang, sedangkan ke barat tampak bergelombang. Saya pergi ke tempat pelelangan ikan (TPI) dan melihat jajaran perahu nelayan beraneka warna yang tertambat di pantai berpasir putih. Kampung nelayan ini masih sangat tradisional dan belum mempunyai dermaga. Laut di sini tenang, tidak berombak seperti umumnya laut di tepi Samudra India. Kondisi ini agaknya disebabkan keberadaan karang penghalang di laut yang memecah ombak beberapa ratus meter sebelum mencium bibir pantai.
Ujung Genteng sejatinya memang sebuah tempat persing-gahan nelayan dari berbagai kawasan di selatan Jawa. Ia mungkin kurang tepat disebut desa, sebab suasananya sangat hening. Meski begitu, keindahannya lambat-laun terendus juga. Perlahan tapi pasti, pelancong mulai berdatangan. Beberapa kilometer dari sini diam-diam muncul koloni pencinta selancar. Seiring dengan itu, sejumlah hotel dan losmen pun muncul.
Sarana penginapan terletak di sisi barat, sebagian berdiri di tepi pantai, umumnya berbentuk bungalo dengan dinding dan lantai kayu. Listrik mengalir 24 jam di sini. Problem utama di Ujung Genteng adalah pilihan makanan yang terbatas. Itu sebabnya pengunjung biasanya membawa bekal sendiri. Saya biasanya mengisi perut di restoran di Hexa, nama salah satu penginapan, atau menyantap ikan laut segar di warung-warung sederhana di tepi pantai. Jika ingin pengalaman yang lebih autentik, saya akan pergi berbelanja aneka hasil laut segar di TPI, lalu membakarnya sendiri.